MAJALENGKA –
Bagi sebagian masyarakat suku sunda, tidak lengkap rasanya jika resepsi pernikahan tanpa upacara sawer panganten. Tanpa dikomando lagi, anak anak bahkan orang dewasa langsung berkumpul di depan pasangan pengantin untuk mengikuti dan memungut uang logam juga kertas yang disawerkan oleh kedua orang tua dan sanak saudara mempelai dan dipandu juru sawer.
Bahkan sebagian orang percaya, benda-benda saweran tersebut dapat membuat orang yang mendapatkannya enteng jodoh dan murah rezeki.
Nyawer atau saweran merupakan budaya menaburkan berberapa benda-benda kecil yang dilakukan oleh orang tua kedua mempelai. Konon dengan menaburkan benda-benda tersebut dapat memberikan petunjuk kepada kedua calon mempelai agar dapat menjalankan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan tidak lupa untuk senantia bersedekah kepada orang yang membutuhkan.
Nyawer berasal dari kata ‘awer’ yang diibaratkan seember benda cair yang bisa diuwar-awer (diciprat-cipratkan atau ditebar-tebar). Namun ada pendapat lain yang ditulis dalam buku Bagbagan Puisi Sawer Sunda yang menjelaskan bahwa nyawer berasal dari kata ‘penyaweran’, yakni tempat yang kerap terkena air hujan yang jatuh dari genteng.
Nah, dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tempat yang dimaksud untuk melangsungkan nyawer adalah di halaman rumah. Sementara itu, cipratan air merupakan benda-benda sawerannya.
Makna Tersirat dari Benda-benda Saweran
Nyi Teti, juru sawer yang sudah puluhan tahun menmandu prosesi saweran menuturkan jika umumnya, benda istimewa yang kerap disebar dalam acara nyawer, antara lain kunyit, beras putih, berbagai bunga rampai, sirih, permen, uang logam dan beras kuning yang sudah direndam dalam air kunyit.
“Masing-masing bahan tersebut memiliki makna berupa doa-doa untuk kedua mempelai,” ujar Teti.
Menurut nyi Teti , jika benda benda yang biasa digunakan untuk sawer memiliki arti tersendiri, seperti :
Warna kuning dari kunyit diibaratkan emas dan merupakan simbol harapan agar kedua mempelai dapat hidup dengan kelimpahan rezeki.
Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Sunda dan menjadi simbol kesejahteraan dan kebahagiaan yang cukup.
Selain itu, uang logam juga melambangkan kekayaan. Sedangkan aroma wangi dari bunga-bunga menjadi harapan agar nama kedua mempelai senantiasa harum dengan perilaku yang mulia.
Permen, kalau dulu gula merah sekarang diganti permen. Itu isyarat supaya dalam menjalani hiruk piruk rumah tangga senantiasa berjalan manis harmonis.
Dari benda-benda tersebut, tak ketinggalan sirih sebagai bentuk doa agar kedua mempelai selalu hidup rukun dan saling pengertian satu sama lain. Dan permen dengan rasa manis menjadi pengharapan agar kehidupan mempelai selalu berjalan harmonis.
Masih dikatakan Teti, yang tak pernah terlupa dari prosesi sawer yakni ‘Kidung Nasihat’ prosesi nyawer akan semakin khidmat dengan adanya nyanyian kidung berisi nasihat sebagai bekal dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Ada juga beberapa tembang yang didalamnya berisi candaan penganten baru.
“Ada beberapa tembang yang popular pada prosesi saweran diantaranya, tembang Asmaradana atau kidung Kinanti. Yang merupakan tembang-tembang yang merdu dan sarat makna mendalam ini juga kerap membuat para hadirin merasakan haru dan meneteskan air mata”, jelas nyi Teti. (Oki)