MAJALENGKA –
Pengendara diimbau waspada saat melewati jalan nasional yang menghubungkan Kabupaten Majalengka dengan Kuningan sekaligus penghubung Jawa Barat dengan Jawa Tengah, tepatnya di wilayah selatan Majalengka.
Kontur tanah yang labil serta letaknya yang berada di perbukitan menjadi ancaman bagi para pengguna jalan, terutama di musim hujan seperti sekarang. Selama ini di jalur tersebut sering terjadi pergerakan tanah yang mengakibatkan longsor dan jalan amblas.
Terlebih jika memasuki akhir musim yang kerap didera hujan deras dengan intensitas waktu rata-rata 3 sampai 5 jam membuat pengendara waswas setiap melintas di jalur tersebut saat hujan turun.
Enam tebing dengan ketinggian bervariasi bahkan ada yang 30 meteran, berlokasi di Blok Cipadung, Desa Sindangpanji, Kecamatan Cikijing longsor. Kejadian pada Selasa (9/4/2019) itu, menambah daftar panjang terputusnya akses Majalengka-Kuningan.
Dampaknya membuat 21 kendaraan roda empat dan tiga kendaraan roda dua terjebak diantara longsoran. Hingga hari ini, Kamis (11/4/2019), jalur tersebut belum bisa dilalui kendaraan karena material longsor masih berserakan di badan jalan.
Sebelumnya, pada 2017 di jalur tersebut, juga mengalami beberapa kali longsor. Di antaranya pada Jumat (17/2/2017), sepanjang 30 meter dengan kedalaman 10-15 meter amblas tepatnya di Blok Wage, Desa Kawahmanuk, Kecamatan Cireungit, Kabupaten Kuningan.
Pada bulan yang sama, tepatnya Kamis (4/2/2017) di Desa Wanahayu, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, peristiwa jalan amblas kembali terjadi dengan panjang 6 meter serta kedalaman 5 meter.
Berdasarkan rilis yang dikeluarkan PVMBG, selain curah hujan yang tinggi, potensi bidang gelincir berupa kontak antara batuan segar yang kedap air dengan tanah pelapukan yang bersifat gembur atau sarang dan lolos air yang akan jenuh saat hujan turun. Serta, tebing yang terjal dan tanpa perkuatan dan penataan aliran permukaan yang kurang baik sehingga air permukaan mengalir ke arah lereng dan membuat jenuh tanah penyusun lereng. Sehingga daerah tersebut mudah longsor di musim hujan.
Kemudian diperparah karena lokasi bencana merupakan lereng peralihan dari dataran yang lebih rendah menuju ke dataran yang lebih tinggi. Serta kemiringan lereng terjal-sangat terjal, arah lereng turun relatif ke barat dengan elevasi lokasi bencana antara 650-700 meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Tasikmalaya, Jawa Barat (Budhitrisna, P3G, 1986), daerah bencana tersusun oleh Hasil Gunungapi Tua dari Gunung Cereme (QTvr) yang terdiri dari breksi gunungapi, breksi aliran, tufa dan lava bersusunan andesit sampai basal. Karakteristik batuan ini ialah bersifat kedap air kecuali pada lapisan tufa, kompak, tidak mudah lapuk sehingga tanah pelapukannya relatif tipis.
Menurut Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Majalengka Agus Permana, berdasarkan Peta Prakiraan Wilayah, lokasi bencana termasuk dalam zona potensi gerakan tanah menengah-tinggi. Artinya daerah yang mempunyai potensi menengah hingga tinggi untuk terjadi gerakan tanah.
Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan.
“Wilayah selatan Majalengka berada dalam zona merah yang memiliki potensi pergerakan tanah level menengah hingga tinggi,” ungkap Agus. (Oki)