KUNINGAN –
Kabupaten Kuningan kaya dengan seni tradisi dan ritual. Salah seni ritual yang paling banyak digelar adalah Babarit atau syukuran bumi.
Acara ini digelar di Blok Cangkuang Kelurahan/Kecamatan Kuningan. Gelar budaya babarit/Sabumi sudah ada sejak dulu dan dalam enam tahun terakhir tradisi ini kembali digelar setelah sekian lama vakum.
Acara dimulai dengan pangambilan air di Hulu Cikuning yang terletak di Kelurahan Winduherang Kecamatan Cigugur. Petugas yang diutus mengambil air dari hulu cai atau mata air itu menggunakan delman.
Mereka berangkat sekitar jam jam 13.00 dan kembali satu jam kemudian. Setelah beres ritual mengambil air itu dilanjutkan dengan mengarak tumpes alias tumpeng sabumi di Blok Cangkuang.
Pada saat mengarak tumpes ini rombongan diiringi dengan kesenian reog. Namun, sebelumnya sampai ke lokasi Situs Cangkuang mereka disambut lengser dan diiringi kesenian kacapi suling.
Setelah itu dilanjutkan dengan acara penyambutan Bupati H Acep Purnama MH sambil diiringi dengan tari. Bupati pun diberikan tumpeng oleh salah seorang penari.
Tibalah pada acara puncak dimana air dan tumpeng dikumpulkan di dekat situs cangkuang. Para tokoh masyarakat memanjatkan doa kepada yang maha kuasa yang selama ini sudah memberikan rejeki dan kesehatan kepada warga blok Cangkuang.
Setelah berdoa bersama digelar makan bersama. Sementara itu air yang diambil dari hulu itu dibagikan kepada warga. Air yang ditampung di ember dan gentong itu sebelumnya ditaburi bungai tujuh warna.
Pada prosesi pembagian air ini banyak warga yang berebut. Mereka yakin air ini penuh keberkahan. Biasanya digunakan untuk campuran air mandi atau untuk dibasuh ke muka.
Yang meminta air buka dari warga setempat tapi juga dari tetenggaa keluruhan pun datang. Mereka menyakini air ini berkah.
“Saya datang dari Cijoho. Meski ini acara warga Blok Cangkuang tapi saya butuh airnya. Saya yakin air ini membawa keberkahan. Mungkin banyak menganggap hal sepele tapi saya bisa membuktikan,” ujar pria paruh baya yang mengaku Oman itu.
Menurut Wawan Suherlan salah seorang sesepuh di Cangkuang, tradisi ini akan terus dijaga dan dilestarikan. Hingga sekarang sudah enam kali setelah mengalami kevakuman puluhan tahun.
Terpisah, Jono yang juga pantia acara Babarit Cangkungan menerangkan, nama Cangkuang diambil dari nama salah satu anak Adipati Ewangaa. Adipati Ewangga memiliki empat orang anak salah satunya Adipati Cangkuang.
“Dulu tempat ini merupakan pasanggarahan Adipati Ewangga. Oleh Adipati tempat ini dijadikan tempat mengepu alat perang. Bukan hanya itu tempat ini juga tempat musyawarah. Hingga sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan pangcalikan. Batu pangcalikan itu dikeramtkan hingga sekarang oleh warga setempat,” ujar Jono yang merupakan PNS di Dinas Porapar Kuningan. (tomi indra)