JAKARTA –
Gema Perhutanan Sosial Indonesia menyambut baik adanya pasal mengenai perhutanan sosial pada UU Cipta Kerja.
Walaupun UU Cipta Kerja tetap perlu dikoreksi terkait prosedur formil penyusunan UU, dan pasal-pasal lain yang belum sesuai dengan reforma agraria.
Namun demikian, Gema menyangsikan Kementerian LHK sanggup melaksanakan implementasi perhutanan sosial dengan baik, cepat dan sesuai dengan arah kebijakan Presiden.
“Sebagai contoh adalah perintah Presiden yang berkali-kali disampaikan untuk mempercepat pembagian SK perhutanan sosial khususnya di Jawa, namun tidak dilaksanakan dengan baik. Sebagai parameter adalah perintah Presiden dengan Gema Perhutanan Sosial pada pertemuan tanggal 10 Oktober 2019 lalu, hingga hari ini dari sekitar 63 pengajuan, hanya selesai 2 SK saja. Bahkan ada pengajuan yang sudah disampaikan sejak 2017 hingga 2020 atau berjalan hampir 3 tahun baru akan diverifikasi. Artinya ujung perjalanan bertahun-tahun berakhir pada jalan di tempat awal,” tutur Rozikin, Deputi Operasional Gema.
Gema Perhutanan Sosial menilai sebagus apa pun peraturannya, tetap intinya ada pada pelaksanaan detil yang dilakukan oleh birokrasi KLHK.
“Pasca pertemuan dengan Presiden, pada tanggal 11 Oktober 2019 telah dilakukan pertemuan antara Gema dengan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK disepakati akan dilakukan verifikasi subjek. Namun yang dilakukan adalah sinkronisasi dan fasilitasi saja. Padahal tidak ada dalam P.39/2017 disebut tahapan sinkronisasi dan fasilitasi setelah permohonan Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial disampaikan ke KLHK,” ujarnya.
Dengan demikian PSKL-KLHK membuat prosedur yang sesuai peraturan atau tidak rule base. Jadi sesuai kesepakatan 11 Oktober 2019, kami tetap menyebut sinkronisasi tersebut sebagai verifikasi teknis (vertek) subjek.
“Kami merasa dipermainkan oleh KLHK. Bayangkan, setelah sinkronisasi dan fasilitasi itu kami telah memasukkan data subjek kembali berkali-kali. Maret, Juni, Juli kami masukkan kembali data subjek. Aneh juga jika PSKL tidak mempercayai data vertek subjek, yang vertek khan KLHK sendiri, sekarang tidak mempercayai hasil verteknya sendiri. Khan aneh?,” ujarnya
Gema menolak kerja yang tidak profesional dari PSKL-KLHK. Hingga 28 September 2020, janji untuk percepatan terbitnya SK perhutanan sosial sebagaimana disebut dalam surat Direktur Penyiapan Kawasan Hutan Perhutanan Sosial, Erna Rosdiana, tidak terlaksana.
Belum 1 pun SK keluar sesuai yang dijanjikan dalam pembahasan terakhir pada Agustus 2020.
Malah Dirjen PSKL menerbitkan aturan baru Perdirjen PSKL No 13/2020 yang menyebutkan prosedur pengecekan data subjek objek oleh Perum Perhutani.
“Ini menguatkan politik adu domba antara petani pemohon perhutanan sosial dengan Perum Perhutani, serta melanggar aturan hukum yaitu P39/2017,” tutur Hanafiah, sekjen Gema Perhutanan Sosial Indonesia.
Sementara itu, Siti Fikriyah, Ketua Umum Gema Perhutanan Sosial Indonesia, menilai perhutanan sosial adalah ikon kebijakan pro rakyat dari Presiden Joko Widodo.
Presiden mengalokasikan kurang lebih 11 juta hektar kawasan hutan untuk kalangan swasta, tapi mengalokasikan 12,7 juta untuk rakyat ditambah 1,127.073 hektar di Jawa dengan prioritas kurang lebih 500.000 hektar.
Demikian juga dengan dimuatnya pasal perhutanan sosial dalam UU Cipta Kerja, setelah 75 merdeka baru di masa Jokowi perhutanan sosial atau usaha rakyat di kawasan hutan negara mendapat tempat terhormat. (IJnews)