MAJALENGKA –
Pabrik genteng Jatiwangi Kabupaten Majalengka, pernah mengalami masa kejayaan pada era tahun 1970 – 1990. Kala itu, produk genteng asal Kabupaten Majalengka ini, dinilai sebagai genteng dengan kualitas terbaik. Kualitas yang dimiliki dari produk genteng Jatiwangi ini diyakini tidak hanya mampu bersaing di skala nasional, melainkan juga mampu bersaing dengan produksi genteng di negara – negara Asia bahkan Eropa.
Namun, kejayaan genteng Majalengka, kini hanya tinggal kenangan. Perlahan, ditengah gempuran produk genteng modern pabrikan, membuat produsen genteng konvensional ini, kian sepi bahkan dibiarkan terbengkalai dan ambruk. Bahkan, beberapa produsen lokal genteng Jatiwangi, kini gulung tikar.
Jebor, begitu orang Majalengka menyebut pabrik genteng yang sudah mensejahterakan masyarakat Jatiwangi dan sekitarnya ini. Sejak 1905, jebor di Jatiwangi mulai beredar dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1970-1990 sehingga popularitasnya menanjak di negara negara Asia bahkan Eropa.
Ketua persatuan pengusaha genteng Jatiwangi H Apip mengungkapkan jika pada masa kejayaannya berdiri sekitar 600 Jebor yang tersebar dari wilayah Sumber sampai Kadipaten.
“Pada masanya, Jebor merupakan urat nadi perekonomian masyarakat, bukan hanya para pengusaha atau boss jebor yang menikmati hasilnya, namun para pekerja dan masyarakat sekitar yang bertindak sebagai reseller juga sejahtera,” ungkapnya.
Runtuhnya kejayaan industri genteng Jatiwangi mencuat pada tahun 1998 sampai sekarang yang hanya menyisakan 150an pabrik saja yang masih beroperasi. Bahkan, darai jumlah itu, yang masih berproduksinya, hanya 20 persen saja.
“Tahun 1998, permintaan genteng mulai sepi, dan sampai sekarang keadaannya semakin terpuruk sehingga sebagian besar gulung tikar,” ujar H Apip.
Keluhan juga di lontarkan Sakri, salah seorang pengusaha genteng di desa Sukaraja Kecamatan Jatiwangi. Dirinya mengaku jika sebulan terakhir ini sangat sepi permintaan genteng. Padahal, produksi genteng tidak mungkin dihentikan karena karyawan tidak mungkin diberhentikan begitu saja.
“Meski sepi permintaan, kita masih menjalankan produksi pabrik karena karyawan kan gak tau sepi atau ramai. Dan, dengan alasan kemanusiaan kita tidak mungkin memberhentikan pekerja begitu saja,” katanya.
Secara umum, runtuhnya kejayaan Jebor dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, bahan baku yang semakin sulit didapat. Genteng Jatiwangi menggunakan tanah merah yang memiliki tekstur tanah halus serta berkontur lengket.
Kedua, tenaga kerja yang semakin menyusut. Kini Jatiwangi dan sekitarnya sudah beralih menjadi kawasan industri makanan, textile, dan lain sebagainya. Sehingga para pemuda pemudi lebih memilih bekerja di pabrik textile ketimbang menjadi buruh Jebor.
Ketiga, persaingan pasar. Genteng Jatiwangi kini banyak pesaing dengan genteng genteng modern dan baja ringan. Masyarakat yang lebih memilih genteng praktis kendati kekuatan sangat jauh dibandingkan genteng Jatiwangi membuat pemasaran semakin menurun.
Kini, kejayaaan Jebor, hanya tinggal kenangan. Sentra genteng terbesar di Jawa Barat ini, hanya menyisakan “sepenggal nafas” bagi pelaku usahanya. (Oki)