DARI RIZAL SAMPAI STEVEN HAWKING
Oleh : Saptaguna
Pengelola Rumah Pustaka
Lahir dari keluarga yang kurang mampu, proses kelahiran Muhammad Devana Fakhrizal cukup menyedihkan. Ayahnya, Anas adalah buruh serabutan sedangkan ibunya, Siti Daenah adalah ibu rumah tangga. Saat usia kandungan Rizal masih delapan bulan air ketuban ibunya pecah.
Maka dengan segera ia dibawa ke klinik. Bidan yang menerimanya menyatakan bahwa tali pusat bayinya menumbung. Tali pusat menumbung adalah posisi tali pusat berada di samping atau melawati bagian terendah janin di dalam jalan lahir setelah ketuban pecah. Klinik menyatakan tidak sanggup menanganinya. Ia kemudian segera dibawa ke rumah sakit.
Perjalanan dari Parung Panjang, Tanggerang ke rumah sakit yang cukup jauh ditempuh hanya dengan naik ojek.
Untunglah kemudian Rizal selamat lahir dengan cara operasi cesar. Ukuran bayinya sangat kecil. Berat badan Rizal hanya 1,5 kg. Ia lalu dihangatkan dalam inkubator. “Tubuh yang sudah kecil itu dipenuhi dengan jarum infus,” ujar ibunya sedih mengenang proses kelahiran putranya.
Oleh karena berat dengan beban biaya rumah sakit, Rizal terpaksa dibawa pulang oleh orang tuanya. Kedua orang tua Rizal lalu membawanya ke Indramayu, Jawa Barat, daerah kelahiran ibunya.
Bayi yang lahir prematur ini kemudian dirawat dengan telaten oleh kedua orang tuanya. Namun pertumbuhan Rizal tampak lambat. Sampai dengan usia empat tahun, Rizal belum bisa berjalan. Hingga usia enam tahun Rizal masih merangkak.
Saat usia sekolah, ibunya mendaftarkan ke sekolah dasar negeri yang tak jauh dari rumahnya. Melihat keadaan fisik Rizal yang berbeda dengan anak-anak lainnya, pihak sekolah “menolaknya” secara halus. Rizal diarahkan masuk ke SLB.
Orang tuanya sepakat memasukkannya ke sekolah yang berada di jalan Pahlawan, Indramayu, Jawa Barat ini.
Kendati Rizal memiliki kelemahan di fisik, tetapi kecerdasannya cukup bagus. Kecakapan bicaranya menonjol. Di sekolahnya dia dijuluki “motivator”. Keterampilannya dalam hal tulis-menulis boleh dikata di atas rata-rata teman-temannya.
Tentu saja sebagai penyandang disabilitas Rizal tak lepas dari pengalaman pahit baik yang dialami di sekolah maupun di luar. Pernah suatu ketika Rizal sedang duduk di kursi roda di dekat lingkungan sekolahnya. Tiba-tiba dari belakang kursi rodanya didorong oleh temannya. Kursi roda meluncur. Malangnya kursi roda menabrak batu yang runcing. Kepala dia bocor akibat membentur batu itu. Muka Rizal bersimbah darah. Kendati demikian Ibunya tidak menuntut apa-apa. Dia memaafkan atas peristiwa itu. Namun mungkin karena rasa takut, sejak kejadian itu, anak yang mendorong Rizal itu tidak lagi masuk sekolah.
Hal yang tak pernah dilupakan oleh ibunya adalah ketika ada tetangganya yang menganjurkan agar Rizal menjadi peminta-minta di lampu merah. “Kalau keadaan tubuhnya seperti itu, ya wajar kalau Rizal minta-minta di jalan,” demikian kira-kira tetangganya itu menganjurkan.
Daenah, Ibu Rizal langsung marah. “Anaknya kamu saja yang suruh minta-minta di jalan sana!”
Daenah merasa omongan temannya itu benar-benar menginjak harga dirinya. Kendati dia hidup pas-pasan ia merasa marwahnya hancur jika harus melakukan hal itu. “Saya masih kuat ngasih makan Rizal,” ujarnya.
Rizal akhirnya berhasil menamatkan pendidikan hingga SMP dan kini sudah lulus SMA.
Kini Rizal mengisi hari-harinya dengan menghadiri pengajian di masjid dan menulis puisi. Ia juga ingin membuka usaha penjualan pulsa di rumahnya. Namun belum terwujud.
Puisi-puisi yang ada dalam buku ini ditulis oleh Rizal. Dia seperti maniak sekali dalam membuat puisi. Jumlah puisinya ratusan. Itu tidak termasuk yang hilang atau yang dia hapus.
Tentu saja karena ia “hanya” berdasarkan curahan hatinya, maka rukun puisinya kadang masih ada yang dia lewati. Namun, jika meminjam istilahnya Fajar (remaja yang viral di Tiktok itu): “Setidaknya saya punya perjuangan dihargai.”
**
Fenomena Rizal mengingatkan saya pada penulis yang difabel dari Malang, yakni Ratna Indraswari Ibrahim. Sejak kecil ia sudah mengidap penyakit radang tulang (Rachitis). Oleh karena penyakitnya ini, praktis seluruh pekerjaannya dilakukan di atas kursi roda. Kendati demikian Ratna dikenal sebagai sastrawati yang produktif. Selama hidupnya dia berhasil menulis kurang lebih 400 cerpen dan novel.
Bagi jiwa-jiwa yang memberontak dan mereka yang terus menyalakan bara cita-cita dan impiannya, keterbatasan fisik (disabilitas, difabel) bukanlah suatu halangan.
Di luar sastra, kita mengetahui Steven Hawking. Dunia mengenalnya sebagai ahli fisika. Padahal Hawking menderita penyakit neuron motorik: sebuah penyakit yang menyerang sel-sel syaraf. Akibatnya penderita sulit menggerakkan lengan, kaki dan wajahnya.
Kita juga pernah mendengar Ludwig Van Beethoven. Beliau seorang pianis dan komposer terbaik padahal dia seorang yang tuli, juga Steven Wonder penyanyi yang mahir memainkan berbagai alat musik dan piawai mencipta lagu. Padahal dia tuna netra atau Steve Jobs yang ketika sekolah dia menderita kesulitan membaca (disleksia). Namun dunia tahu dialah yang mendirikan Apple Insc. dan membangun Iphone.
Semoga kisah orang-orang besar yang saya sebutkan di atas bisa menginspirasi Muhammad Dewana Fahrizal.
Seperti nasihat ibunya, Daenah kepada Rizal, “Jadikan keterbatasanmu sebagai kelebihan.”
Biodata
Rizal atau lengkapnya Muhammad Dewana Fahrizal lahir di Tanggerang 21 Agustus 1997.
Rizal adalah putra pertama. Dia punya dua orang adik yang semuanya laki-laki. Pertama Abdurrahman Awali dan Muhammad Jirin.
Pendidikan Rizal dari SD hingga SMA ditempuh di SLB Negeri yang ada di jl. Pahlawan Indramayu, Jawa Barat.
Sekitar tahun 2017 Rizal lulus dari SMA. Sejak itu iya banyak mengisi waktunya di rumah yang beralamat di RT 04/ RW 08 Kelurahan Lemah Mekar Blok Kandang Sapi, belakang kantor Pengadilan Negeri Indramayu, Jawa Barat.
Selain aktif menghadiri beberapa pengajian Rizal juga menulis puisi. Antologi puisi pertamanya ada dalam buku yang Anda baca ini. Rencananya, setelah buku ini terbit, ia ingin menulis kata-kata motivasi khususnya untuk penyandang disabilitas.