CIREBON –
Industri batik di Cirebon tidak akan berjalan mulus jika perajinnya setiap tahun, satu demi satu menghilang. Entah karena sudah renta atau meninggal, ditambah sulitnya regenerasi dalam keluarga pembatik karena anak-anak perajin batik enggan menekuni profesi orang tuanya.
Hal inilah yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan batik di wilayah III Cirebon (Cirebon, Kuningan, Indramayu, Majalengka) bahkan nasional terkadang mengalami kendala. Padahal, jika industri batik berjalan baik, dapat mendongkrak roda perekonomian daerah hingga mengurangi angka pengangguran.
Oleh karenanya, dalam pemecahan rekor MURI membatik terbanyak 2.800 pelajar sekolah SD dan SMP di Kabupaten Cirebon, salah seorang perajin batik Trusmi, Ibnu Riyanto menginginkan, dari seluruh peserta itu paling tidak 10% di antaranya jika lulus nanti menjadi perajin batik Cirebon.
“Bayangkan dari 2.800 pelajar, 10 persen saja yang tertarik menjadi perajin maka ada 280 perajin sekaligus pengusaha batik baru di Cirebon,” katanya, Rabu (2/10/2019).
Menurutnya, pelajar merupakan bibit potensial untuk mencetak perajin batik asalkan edukasi, sosialisasi, bahkan vokasi dapat berjalan secara kontinyu. “Pelajar adalah masa depan,” imbuhnya.
Ibnu menyatakan, berbicara batik tidak hanya menjadi perajin yang identik dengan ketekunan, kesabaran, dan berbagai proses membuat batik yang rumit. Di sisi lain, lulusan sekolah baik menengah atau perguruan tinggi dapat menjadi pengusaha atau pecinta batik.
“Menjadi perajin batik memang sulit, dibutuhkan kesabaran dan ketekunan yang tinggi. Kalau itu sulit, pelajar bisa menjadi wiraswasta, agen penjualan, atau pecinta batik,” tuturnya.
Ibnu menambahkan, industri batik dapat menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini menjadi salah satu soluai bagi permasalahan penyerapan angkatan kerja di daerah. “Dalam prosesnya, satu kain batik membutuhkan 15 orang pekerja, jadi kalau ada 280 perajin batik baru, maka dapat menyerap ribuan pekerja,” pungkasnya. (Juan)