MAJALENGKA –
Akibat minim dan kurang aktifnya program pembinaan, sejumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Majalengka memilih ‘turun’ ke jalan untuk mencari nafkah.
Penyandang tunarungu dan tunawicara memilih jadi ‘Pak Ogah’ dengan menjual jasa penyebrang jalan dan mengatur lalu lintas di pertigaan ataupun perempatan jalan. Seperti yang terpantau di beberapa titik, di antaranya perempatan GGM, Mambo, Pujasera, Tiongbi, dan lainnya.
Salah satunya adalah Nunung Herdiana (37), warga Blok Kertasari, Desa Sinangkerta, Kecamatan Maja, yang terpaksa bekerja sebagai tukang menyeberangkan orang dan mengatur lalu lintas kendaraan di jalan. Aktivitas seperti itu sudah dilakukan Nunung sejak 2018 setelah diajak teman komunitasnya.
Setiap hari Nunung berangkat dari rumah pukul 08.00 WIB dan biasanya pulang sekitar pukul 19.00 WIB. Dari hasil jerih payahnya itu, Nunung rata-rata memperoleh penghasilan Rp20.000 hingga Rp25.000. Uang sebesar itu, dia manfaatkan untuk menghidupi istri dan dua anaknya yang berumur 10 dan 2 tahun.
Hal sama juga dilakukan Ajat, Ade dan Arif dan Sarif. Untuk bekerja seperti itu, menurut mereka butuh tenaga yang kuat. Modalnya, peluit dan air bening yang mereka bawa dari rumah untuk menjaga tenggorakan tidak kering.
“Minum banyak, karena panas biar tenggorokan nggak kering. Lelah dan pegal-pegal itu pasti. Usai salat isya, langsung tidur,” ungkap Nunung sedikit bercerita soal kesehariannya dengan menggunakan bahasa isyarat sambil meraba tenggorokan dan kaki saat ditemui di perempatan Pujasera, Jumat (1/2/2019).
Pada perinsipnya mereka bekerja scara sukarela, tanpa meminta. Tapi ada saja yang rela dan ikhlas memberinya sekeping uang rupiah pecahan seribu atau selembar uang Rp2.000. Bagi Nunung dan kawan-kawan, uang sebesar itu sangatlah berarti. Setiap keping dan selembar uang yang mereka terima adalah rezeki yang tetap harus disyukuri, tanpa harus dikeluhkan meski lelah sangat terasa.
Arif, ketua komunitas tunarungu setempat biasanya mengatur atau membagi siapa saja yang bertugas di tiap titik. Peraturan itu digilir setiap dua hari sekali. Makanya mereka tidak selamanya berada di satu tempat. Hal itu dilakukan demi memberikan rasa keadilan.
Kepala SLB YPLB Majalengka Sri Aminah membenarkan, kalau pengatur lalu lintas yang ada di jalanan tersebut adalah komunitas tunarungu yang dibentuk pada November 2017 lalu. Pembentukan komunitas ini berawal dari rasa gundah mereka karena tidak ada pihak yang bersedia dan membantu mereka mendapatkan pekerjaan informal.
Padahal beberapa di antara mereka sebenarnya punya kemampuan atau keterampilan bekerja. Karena kondisi itu, merekapun terpaksa turun ke jalanan menjemput rezeki yang bisa dinikmati bersama keluarga di rumah.
“Ketika itu mereka datang ke saya, ada di antaranya lulusan sekolah kami, ada yang tidak sekolah ada pula lulusan sekolah SLB lain. Mereka mengeluh tidak punya pekerjaan sementara mereka harus bisa hidup mandiri tanpa mengandalkan orang lain,” kata Sri.
Setelah kepengurusan dibentuk dengan diketuai Arif, akhirnya Sri berkomunikasi dengan kepolisian dan Dinas Perhubungan agar sebagian dari mereka bisa diberdayakan sebagai juru parkir. Akhirnya 10 orang dari 44 anggota komunitas mendapatkan kesempatan jadi jukir, enam di antaranya bekerja di jalan raya mengatur penyeberangan kendaraan.
Ada juga yang menjadi tukang parkir di sebuah swalayan setelah sebelumnya mendapat pelatihan. “Bagi yang enam orang ini bekerja di jalan, setiap hari usai bekerja mereka berkumpul untuk mengumpulkan uang yang diperoleh masing-masing. Setelah itu mereka bagi rata, sebagian mereka sisihkan untuk keperluan lain yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Tak heran jika penghasilan setiap harinya sama,” kata Sri yang kerap jadi teman curhat para penyandang tunarungu.
Sri mengaku, kini dirinya sedang berupaya melakukan kerja sama dengan sejumlah perusahaan dan lembaga pemerintah serta mendidik sejumlah anak agar mereka bisa hidup mandiri. Sebagian dididik untuk menjadi pemangkas rambut, pencuci steam sepeda motor, dan bekerja sebagai pekerja di pabrik atau swalayan. (Oki)