CIREBON –
Sungguh tragis nasib petani atau petambak garam di Cirebon. Ribuan ton garam hasil panen tahun lalu justru tidak laku dijual. Musim panen tahun ini pun kondisinya tak jauh beda.
Petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon kembali mengalami nasib yang sama. Walaupun laku dijual harganya turun drastis.
Salah satu petambak garam desa setempat Toto (38) mengatakan, sejak musim hujan tiba pada akhir tahun 2018 lalu, harga garam menurun drastis yang semula di gudang penyimpanan seharga Rp1.000/kg kini hanya Rp500/kg.
“Turunnya bertahap dari Rp800/kg sampai harga terendah Rp500/kg. Itupun tidak banyak peminat, hingga puluhan ton garam milik tengkulak maupun petambak menumpuk di gudang penyimpanan,” katanya, Kamis (4/7/2019).
Ia memprediksi, ribuan ton garam tidak laku dijual masih mangkrak di gudang. Terlebih, dalam waktu dekat petambak akan memanen hasil garam tahun ini.
“Satu orang saja menyimpan 20 hingga 50 ton garam, dan milik penimbang mencapai ratusan ton. Sok yang lama saja masih banyak, sekarang sudah mau panen lagi. Kami bingung mau dijual kemana garam ini, tengkulak sudah tidak mau membeli garam kami,” ujarnya.
Hal serupa dialami oleh Warpin (46 tahun) ia mengaku, hasil panen garam tahun lalu yang disimpan di gudangnya mencapai 30 ton. Namun sampai sekarang belum terjual dan kini ia sudah mulai memanen garam yang baru.
“Sejak tiga bulanan lalu saya selalu menawarkan garam ke penimbang, tapi sampai sekarang garam saya tidak juga dibeli. Susah sekali menjualnya, garam tidak laku,” katanya.
Meski demikian, ia dan para petambak garam lainnya, tetap mengolah tambak garam mereka untuk bisa menghasilkan garam. Mereka juga berharap agar ada standarisasi harga garam, karena selama ini harga garam selalu disetir para tengkulak.
“kita mau gimana lagi dengan mengingat kondisinya seperti. Karena kita kan mencari nafkahnya dari sini, membuat garam, jadi biarpun harganya murah ya kita tetap menggarap garam,” katanya. (Juan)